Breaking News
Loading...

Dari Kolam Renang Menuju Lautan

Share on Google Plus

Merasakannkegagalan berulang kali mungkin menyakitkan. Membuat kita mudah putus asa. Melihat jalur lain lebih menyenangkan dan akhirnya terhipnotis untuk berpindah ke lain hati.

Itu yang sering melandaku di tahun-tahun yang berlalu. Bermimpi menjadi seorang penulis mungkin adalah harapan yang terlalu berlebih. Dan aku malah menambahkannya menjadi seorang penulis legendaris muslim dunia. Nampak mustahil, terlalu tinggi, teramat muluk dan terdengar layaknya sebuah guyonan. Tapi, keinginan itu selalu menggebu setiap kali terlintas 'kemustahilan' itu. Aneh, semakin aku mendekat pada rasa sakit akibat ditusuk kegagalan, semakin ketagihan aku dibuatnya. Dan semakin aku ingin menyerah dan berpindah ke lain hati, ke lain impian yang lebih realistis, semakin tajam pula rasa cinta itu padanya. Pada dorongan hati untuk tetap berada pada area pertempuran itu. Aneh, sungguh aneh memang.

Dulu semasa kecil, aku gemar menangkap air dengan tangan mungilku. Aku gemar merasakan sejuknya di belaian pipiku, aku bahkan betah berlama-lama menceburkan diri di bak mandi karet bermain dengannya, dengan air yang bisa melupakan kesedihanku akan apapun. Beranjak besar, aku semakin dekag dengan air. Aku gemar meminum air putih sebanyak yang aku suka, hingga kembung. Aku rajin sekali mandi, bahkan bisa 3-4 kali saat cuaca kemarau. Dan di sela-sela aktifitas belajarku, aku sempatkan diri ke kolam renang. Karena hanya kolam itu yang bisa menenggelamkan seluruh tubuhku dengan air, di rumah mana ada...

Berkecimpung dan bercengkrama dengan air memang kesenanganku. Tapi sayang seribu sayang, hingga detik ini aku tak bisa berenang. Maka di usiaku yang memasuki 17 tahun, aku masih sering mencelupkan diri dengan sebuah ban yang mengelilingi tubuhku. Yah, aku selalu gagal menguasai air yang teramat luas dan dalam di kolam itu. Beberapa kali air sebanyak yang ia mau masuk ke dalam mulutku saat aku mulai kehilangan keseimbangan tubuh, tubuhku yang tambun ternyata menjadi beban berat untuk mengendalikan air yang banyak dan tenang itu. Tak terbilang lagi hobi baruku itu terulang, tenggelam.

Bosan dengan hobi tenggelamku, beberapa bulan aku tak mengunjungi air kolam itu. Sampai saat liburan tiba, ajakan teman-teman untuk berenang di kolam ku tolak mentah-mentah. Mungkin sedikit demi sedikit trauma mengikis kedekatanku dengan air. Saat itu aku mulai merasakan kebencian bersitatap dengan air banyak yang tenang itu.

Tapi kebekuanku pada air tak membuatku lega. Aku malah merindukan bermain dengannya. Hingga ayahku untuk pertama kalinya mengenalkanku pada air yang lain. Air yang berbeda. Air yang beriak di tepiannya dan bergelombang di tengahnya. Air di lautan. Yah, kecintaanku pada air kembali tumbuh subur saat kunjungan pertamaku ke Pantai Lombok. Pasir yang bersih, putih dan air laut yang menari-nari, nyiur yang bergoyang-goyang, terdorong oleh angin yang membuatnya mengeluarkan bunyi berdesis dari dedaunan yang saling bertabrakan, hembusan angin yang mempermainkan air sehingga menghasilkan gelombang-gelombang yang juga menghasilkan bunyi. Seperti melodi lagu yang sangan harmonis. Membuat aku terhipnotis untuk ikut serta dengan pesta alam senja itu. Mulai hari itu, aku nyatakan diriku kembali jatuh cinta. Jatuh cinta pada air yang bernuansa berbeda. Jatuh cinta pada air yang lebih banyak bercengkrama dengan sekitarnya, lebih periang, lebih aktif, bahkan bisa sangat hiperaktif. Dan satu hal juga yang membuatku trus bertambah menumpuk rasa cinta itu, yaitu misteri lautan yang mengajakku berpetualang lebih dalam lagi bersamanya, bersama air. Dan disitulah kegagalan itu terasa amat manis, tak lagi getir, tak lagi menyakitkan.

Ketika aku belajar berkenalan dengannya, ia menyambutku dengan riak-riak kecilnya yang membasahi ujung celana panjangku. Saat aku mencoba mendekat di waktu yang amat singkat, disitulah aku menemukan kemisteriusan laut yang beraneka rasa menelusuk ke dalam hatiku.

Kira-kira, demikianlah perumpamaan yang dapat ku gambarkan saat aku memutuskan mencintai menulis. Ternyata tak cukup luas untukku berkreasi di duniaku sendiri, di dunia menulisku tanpa melibatkan dunia luar. Seperti air kolam yang tenang dan lambat laun membosankan itu. Mungkin keberhasilanku disaat berenang di kolam dapat ku tunda beberapa saat, diwaktu yang belum ditentukan. Begitupun dengan menulisku, mungkin menulis cerpen membuatku terkungkung pada kegagalan memuat karya cerita pendekku itu ke berbagai media. Tapi aku tak lepas arang. Aku masih punya lautan, lautan yang menyimpan lebih banyak kegagalan sekaligus lebih banyak peluang kesuksesan. Aku memutuskan memulainya dari membuat novel. Yah, sesekali aku rindu pada ketenangan. Bukankah hingar bingar keramaian membuka mata kita akan ketergantungan kita pada ketenangan dan kedamaian? Sesekali aku mengintip ke kolam. Sesekali aku kembali membuat cerpen.

You Might Also Like

0 komentar

About me

Like us on Facebook