Breaking News
Loading...

a Sort Story: "B-A - BA - C-A - CA: BACA"

Share on Google Plus



“Lis, ayo nak siap-siap sekolah!”
“Gak mau! Lilis gak mau sekolah. Lilis mau main aja sama temen-temen Lilis.” Raut wajah ibu langsung berubah ketika mendapatkan penolakan dari sang anak yang sudah didaftarkan sekolah tapi tak kunjung ingin sekolah. Seketika ibu terlihat sedih. Kesedihan yang begitu mendalam.
“Kamu gak sayang sama ibu?”
“Sayang bu. Tapi Lilis gak suka sekolah. Gak enak! Lagian temen-temen Lilis juga gak pada sekolah.”
“Tapi kamu harus sekolah sayang, biar gak bodoh kayak ibu sama bapak.” Saat ibu menyebut kata ‘bapak’, sebuah peristiwa memilukan terputar kembali dalam ingatan ibu. Mengalirlah cerita masa lalunya yang didengarkan oleh Lilis yang sedang duduk di samping ibu di atas ubin rumah sederhana mereka di sebuah kampung yang bernama Kampung Kejember, Banten.
Kehidupan yang sederhana dimiliki oleh ibu dan bapak. Kala itu bapak berprofesi sebagai petani yang memiliki lima petak sawah. Mereka tak pernah berkekurangan sedikitpun. Segalanya terasa cukup untuk hidup mereka. Sampai suatu ketika, bapak yang tak bisa baca-tulis dibujuk untuk menandatangani sebuah surat yang kata orang-orang yang datang ke rumah mereka, ini untuk kebaikan banyak orang. Ini untuk kemajuan kampung. Hingga iming-iming kebahagiaanlah yang terbayang oleh bapak hingga beliau memutuskan menandatangani surat itu. Sebulan berlalu, orang-orang asing yang berdasi dan berbusana sangat formal dan rapi itu datang kembali ke kampung ini. Mereka datang membawa mobil besar yang berisi gundukan tanah. Tak berapa lama berselang, tanah itu ditumpahkan ke petak-petak sawah bapak. Betapa murkanya bapak melihat padi-padi beliau yang sudah mulai menguning dikubur dengan pasir. bapak langsung menghadang mereka agar tak lagi mengubur sawah bapak. Tapi bapak tak bisa berkata apapun saat mengetahui ternyata tangan bapaklah yang melegalkan sawahnya untuk dijadikan tempat perbelanjaan. Bapak telah terbuai oleh bujuk rayu orang-orang berdasi itu. semenjak peristiwa itu, tak ada satu pun petak sawah bapak yang tersisa. Bapak pun begitu nelangsa hingga serangan jantung mengakhiri hidupnya.
Pelupuk mata ibu berembun. Hidungnya memerah. Ia tak sanggup lagi menahan bendungan air yang semakin menganak. Hujan pun tumpah tak tertahankan dari mata ibu yang sayu. Lilis begitu iba mendengarkan kisah ibu yang mengiris sembilu itu. Lilis mendekati ibunya, menyekakan air matanya dengan lengan baju yang ia kenakan.
“Ibu, jangan nangis lagi. Lilis janji akan sekolah pagi ini.” Lilis beranjak dari tempatnya duduk dan bergegas menyiapkan tas butut dan buku serta alat tulis untuk belajar. Ia salimi tangan ibu kemudian ia berpamitan untuk berangkat ke sekolah yang tak jauh dari rumahnya. Sebuah senyum tersungging dari wajah ibu.
@@@
Ibu dan Lilis memiliki selisih usia yang tak terpaut terlalu jauh. Di usia ibu yang masih 25 tahun sudah mengasuh Lilis yang berusia 7 tahun. Ibu memang menikah dini. Dan itu sudah menjadi kebiasaan orang kampung dulu. Karena usia mereka yang berdekatan, membuat ibu seperti seorang sahabat untuk Lilis.
“Belajar apa tadi di sekolah Lis?”
“Belajar baca bu. Ibu mau liat, aku udah bisa baca dikit-dikit.” Lilis selalu antusias bila ibu menanyakan kegiatannya di sekolah. Ia bertekad harus bisa sekolah tinggi. Dan ia ingin bukan hanya dirinya yang pintar. Tapi ibunya pun harus pintar, agar tidak ada yang menganggap keluarganya rendah, agar tak ada lagi yang bisa seenaknya saja menipu ia atau ibunya.
Lilis membuka buku pelajarannya. “Ni bu. Ibu ikutin aku yah. I-n-i-ni-ini, b-u-bu-d-i-di-Budi. Jadi ini Budi.” Ibu mengikuti anaknya yang sedang belajar mengeja. Jauh dari dalam hatinya, ibu ingin sekali bisa baca. Tapi kesibukannya sebagai pemulung di pagi hari dan sebagai pembantu di siang hingga sore hari menyita semua waktu yang ia miliki sehingga tak ada waktu untuknya belajar membaca. Hanya di sela-sela waktu sepulangnya Lilis dari sekolahlah saat yang tepat ia bisa mencuri-curi waktu untuk bisa belajar dari anaknya.
“Ooo..yang ini dibacanya gitu ya nak.”
“Iya bu. Ni aku punya daftar 26 huruf abjad.” Lilis membalik buku tulisnya. Ia dengan telaten memang sudah sejak lama menuliskan huruf-huruf abjad untuk mempermudahnya belajar baca lebih cepat.
“Ni, yang ini dibacanya ‘A’. yang ini ‘B’, ‘C’, ‘D’, ‘E’, terus ini mmm…apa ya bacaannya? Duh aku lupa. Hehehe…entar aku tanya lagi sama guruku ya bu.”
“Yaudah. Sekarang kamu ganti baju gih. Entar belajarnya kita lanjutin lagi. Lauknya udah dingin ni. Ayo kita makan malam dulu.” Lauk yang dimasak ibu hari ini adalah semur jengkol dan cah kangkung. Ini adalah lauk paling wah buat Lilis. Maklum. Biasanya Lilis cuma disuguhi dengan sambel terasi dan nasi putih. Tapi apapun lauk yang ibunya masaki untuknya ia tak pernah protes. Ia cukup sedih melihat ibunya kerja banting tulang untuk kelanjutan hidup mereka. Ibu selalu mendidik Lilis untuk mudah menerima. Menerima apapun yang ditakdirkan Tuhan untuk mereka. Tentu saja menerima hasil setelah berusaha sekuat tenaga.
“Ibu, kapan-kapan kita jalan-jalan yuk. Aku mau ikut ibu mulung, boleh ya?” Lilis membujuk ibunya agar ia diijinkan membantu ibu di hari libur sekolah.
“Jangan. Nanti kamu kecapean sayang.”
“Gak kok bu. Aku janji gak bakal ngeluh capek besok. Suer deh” Lilis mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya.
“Oke deh. Apa sih yang gak buat kamu sayang.” Senyum ibu yang meneduhkan itu selalu membuat Lilis bahagia hidup bersama ibu, bagaimanapun situasi dan kondisi yang mereka hadapi.
@@@
“Ibu biasanya mulung dari mana sampe mana?” Lilis memang baru kali ini ikut ibunya memulung. Biasanya ia lebih memilih bermain dengan kawan-kawannya saat libur sekolah. Tapi kali ini Lilis ingin ikut meringankan beban ibunya. Ya, sejak cerita ibu tentang bapak membuka mata hati Lilis bahwa ibunya adalah satu-satunya harta berharganya. Iya tak ingin kehilangan orang yang ia sayangi. Walaupun ia tak pernah melihat wajah bapaknya, tapi ia bisa merasakan kasih sayang bapaknya dari cerita ibu tentang bapak.
“Ibu biasanya mulung dari komplek sebrang kampung kita sampe yang terjauh ke Jalan Kebaharan Dukuh.”
“Ooo…yang jalan mau ke Banten Lama itu ya bu. Jauh banget. Ibu gak capek tu?”
“Gak. Buat ibu, yang penting kita bisa makan hari ini dengan hasil yang halal ibu sih gak mikirin capeknya tuh.” Lilis semakin sayang dengan ibunya. Ibunya memang pahlawan di hidupnya.
“Kamu beneran gak bakal capek ikut ibu mulung?”
“Gak dong. Kalo ibu aja gak capek apalagi aku.” Lilis mengambil karung goni dan topi caping yang akan melindunginya dari sengatan matahari siang yang membakar. Ia dan ibu memulai pekerjaannya mengumpulkan sampah-sampah yang sekiranya bisa ditimbang dan ditukar dengan lembar-lembar rupiah.
“Kalo dikampung-kampung lebih gampang mungut sampahnya dibanding di komplek nak. Di perkampungan sampah gampang ditemuin di got-got ato di pinggir-pinggir jalan. Kalo di komplek sampah tu di taro di suatu tempat terus dibungkus plastic kresek. Jadi ibu harus merusak plastiknya dulu baru bisa ngudek-ngudek isinya.”
“Gitu ya bu. Kok bisa beda gitu ya?”
“Gak tau ibu juga. Mungkin pemikiran mereka beda-beda kali.”
“Ibu liat deh di got itu. banyak tuh sampahnya. Ayo bu, kita pungutin. Eh kok ada tulisannya ya di pinggir gotnya.”
“Iya, ibu sering banget ngambil sampah di sini. Biasanya ibu dapet banyak abis dari tempat ini. Coba kamu baca deh apa sih tulisannya.”
“Kalo yang di got tulisannya, d-i-di-l-a-la-r-a-ra-n-g-ng, dilarang, b-u-bu-a-n-g-ng, buang, s-a-sa-m-p-a-pa-h, sampah, s-e-se-m-b-a-ba-r-a-ra-n-g-ng, sembarangan ! ooo..katanya gak boleh buang sampah sembarangan bu.”
“Kalo sampahnya dimana-mana gini bisa dibilang sembarangan gak ya?”
Lilis hanya mengangkat bahunya.
“Itu ada tulisan lagi. Coba sekarang giliran ibu yang baca. Yang panahnya kekanan bacanya b-a-ba-n-t-e-te-n, banten, l-a-la-m-a-ma, lama, jadi banten lama. Yang panahnya ke kiri bacanya p-a-pa-s-a-sa-r, pasar, l-a-la-m-a-ma, lama, jadi pasar lama.
“Hore! Ibu dan Lilis udah bisa baca!!!” Lilis lonjak-lonjak saking gembiranya.
@@@
“Untuk merayakan kesuksesan kita karena udah bisa baca, yuk kita jalan-jalan ke pasar gede di depan kampung kita. Kata orang-orang disitu keren banget nak. Ibu jadi penasaran pengen masuk.”
“Ayo bu. Lilis pernah sekali bareng temen-temen kesana. Tempatnya dingin bu kayak di dalam kulkas. Ibu harus pake jaket ke sana biar gak kedinginan. Tapi seru lho bu. Banyak lampu-lampunya disana jadi terang benerang.”
“Yaudah kalo gitu ayo kita kesana. Kamu juga pake jaketnya ya biar gak kedinginan.”
Mall yang berdiri megah menggantikan petak-petak sawah warga itu dulu memang menjadi tempat persengketaan. Tapi warga kampung situ tak punya cukup nyali menghadapi aparat kepolisian yang menertibkan kericuhan. Hingga lama berselang akhirnya wargapun berdamai dengan keadaan. Mall itu tetap berdiri. Dan kini warga tidak lagi mempermasalahkannya. Berdirinya komplek-komplek elit di dekat mall menjadikan mall itu semakin kokoh dan berjaya di situ. Warga kampung hanya bisa pasrah.
Ibu dan Lilis sudah sampai di dalam mall megah itu. suasana dingin langsung menyergap saat mereka memasuki mall itu. mereka menyaksikan banyaknya barang dagangan yang terjual disitu. Betapa takjubnya mereka menemukan sebuah pasar yang jauh dari kesan kumuh, sesak dan bau. Mall itu memiliki 3 lantai. Di lantai pertama sebuah space yang besar disediakan untuk penjualan segala keperluan rumah tangga. Di lantai dua baju-baju berbagai style terpajang berderetan di setiap sudut gedung. Di lantai tiga mata pengunjung akan dimanjakan oleh deretan toko elektronik dan computer berbagai merek.semua keperluan ada disini.
“Duh, ibu pengen buang air kecil ni nak. Bentar ya, ibu cari ada jamban gak disini.” Ibu meninggalkan Lilis yang sedang asik melihat-lihat toko pernak-pernik wanita seperti cincin, gelang, bando, kunciran, dan banyak lagi yang semuanya dijual ditoko yang didesain berwarna serba pink.
“Yaudah ibu jangan lama-lama ya.” Ibu berlalu mencari orang yang sekiranya dapat menunjukan tempat buang air untuknya.seorang satpam yang standby di samping escalator menghampiri ibu yang terlihat kebingungan.
“Bisa dibantu bu?” si satpam menawarkan bantuan.
“Ini mas, disini jamban dimana ya? Saya mau buang air ni udah kebelet.”
“Ooo toilet. Disitu tu bu. Dari sini lurus aja. Terus belok kiri. Mentok belok kanan. Nah disitu ada tulisannya toilet deket mushola.” Jari satpam itu menunjuk-nunjuk arah menuju toilet.
“Oke pak. Makasih.” Ibu yang kebelet langsung ngacir pergi ke arah yang telah ditunjuk satpam.
Setelah menunaikan panggilan alam, ibu kembali mencari tempat anaknya berada 15 menit yang lalu. Tapi ibu tidak menemukan jalan yang sebelumnya ia lewati. Ia bingung harus menanyakan kepada siapa. Karena ia tak tahu persis dimana patokan tempat anaknya berdiri. Akhirnya ibu mencari dan mencari lagi seorang diri. Ada petunjuk arah yang bertuliskan panah ke kanan food court, panah ke kiri supermarket, panah ke depan time zone, panah ke belakang exit. Ibu membaca satu persatu petunjuk yang tertulis. Tapi tak satu kata pun yang dapat diterjemahkan oleh otaknya.
Apa itu food court?supermarket?time zone?exit? kok sudah saya baca tapi saya tidak tahu maksudnya? Ibu bertanya-tanya dalam hatinya. Semakin ia pertanyakan apa yang ia baca semakin pening kepalanya dibuatnya. Ibu kehilangan arah. Ibu tersesat di mall megah itu. karena sudah tak tahan lagi. Ibu sembarangan saja menghampiri orang dan bertanya ke arah mana ia bisa keluar dari gedung itu.
Sedangkan di sisi lain, Lilis yang sudah pegal menunggu ibunya pun memutuskan untuk pulang. Ia pikir pasti akan bertemu ibunya di rumah.
Sesampainya di rumah benar saja dugaannya. Ibu sudah duduk-duduk di teras rumah sambil menunggu anaknya pulang.
“Ibu kemana aja? Kok gak keliatan lagi di pasar tadi?”
Awalnya Lilis ingin marah pada ibu yang membuatnya menunggu hingga berjam-jam. Tapi melihat wajah ibu yang murung, ia pun tak tega “Ibu tadi nyasar. Gak bisa nemuin tempat kamu nungguin ibu.”
“Terus ibu kenapa sedih gitu?”
“Ibu belum benar-benar bisa baca ya nak? Tadi ibu liat ada kata-kata petunjuk arah di pasar itu tapi ibu gak tau apa maksudnya.”
“Emang ibu liat kata apa? Masih inget gak?” Lilis jadi semakin penasaran.
“Seinget ibu ada kata food court, time zone, exit.  Padahal ibu udah mengejanya. Tapi tetap saja ibu gak tau arti kata itu apa.”
“Ooo..itu kata temen Lilis bahasa inggris bu. Lilis juga gak bisa baca bahasa inggris. Besok-besok kita belajar bahasa itu ya bu.” Ibu merasa lega karena ternyata yang ia baca bukan bahasa yang selama ini ia pelajari. Ibu sadar masih banyak bahasa di dunia ini yang belum bisa ia baca. Tapi semangatnya untuk terus belajar membaca tetap menggebu.


end

You Might Also Like

0 komentar

About me

Like us on Facebook